Pages

Thursday, April 4, 2013

UU. No. 11 Tahun 2012 Dan Tinjauan Kritisnya


Sekalipun harus diakui bahwa terkait dengan pemenuhan hak-anak yang berhadapan dengan hukum UUSPPA terdapat banyak kemajuan, namun tidak sedikit pula yang mengkritik ketentuan yang terdapat dalam UUSPPA. Kritik-kritik tersebut sebenarnya bermunculan sejak RUU SPPA masih dalam taraf pembahasan.

  1. Nama dan Ruang Lingkup UUSPPA
UU. No. 11 Tahun 2012 disebut sebagai "Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak". Sekalipun UUSPPA ini banyak memuat materi mengenai "hukum acara pidana anak", namun pecantuman kata "pidana" dalam UUSPPA dipersoalkan oleh banyak kalangan pelaku dan pemerhati anak. KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) misalnya menghendaki pencantuman kata "pidana" dihilangkan karena yang dibutuhkan oleh anak yang berkonflik dengan hukum sebenarnya adalah konseling, bukan peradilan pidana. KPAI menginginkan nama undang-undang ini adalah “Undang-undang tentang Sistem Peradilan Anak yang Berhadapan dengan Hukum”. Pecantuman kata “pidana” di belakang frasa “Sistem Peradilan Anak” juga bertentangan dengan spirit penanggulangan anak yang berhadapan  dengan  hukum  yakni  menghidarkan anak dari  proses peradilan pidana, sehingga dikhawatirkan akan mempengaruhi persepsi penegak hukum untuk bertindak represif kepada anak yang berkonflik dergan hukum.
Pencantuman kata "Sistem” untuk nama sebuah undang-undang sudah pasti terdapat sebuah sistem, bukan sekedar kumpulan norma atau aturan belaka.
Pencantuman kata "pidana" juga menyebabkan ruang lingkup undang-undang peradilan anak menjadi sempit yakni hanya berkaitan dengan peradilan pidana. Padahal anak-anak yang bermasalah dengan hukum yang memerlukan perlindungan tidak hanya dalam perkara pidana. Anak-anak yang terlibat dalam perkara perdata, misalnya sebagai saksi dalam kasus perceraian, seharusnya juga juga diakomodasi dalam undang-undang sistem peradilan anak.
  1. Usia Anak
Beberapa kalangan pemerhati anak menilai batas usia minimum bagi anak yang bisa dikenakan pertanggungjawaban pidana yakni 12 tahun, masih terlalu dini. Menurut mereka usia 12-13 tahun secara psikologis belum siap menghadapi proses peradilan pidana yang bagi orang dewasa-pun kadang-kadang terasa panjang, membingungkan dan melelahkan. Sejak masih berupa RUU, KPAI menghendaki usia anak yang bisa diproses dalam peradilan pidana adalah 15-18 tahun.
  1. Pembatasan Diversi
Sekalipun salah satu kemajuan dalam UUSPPA yang menuai banyak pujian adalah terdapatnya aturan mengenai diversi yang dijalankan dengan pendekatan keadilan restoratif, namun aturan mengenai  diversi yang  membatasi  hanya  untuk  tindak  pidana  yang dilakukan  anak yang diancam dengan sanksi pidana di bawah 7 tahun, sekaligus juga menuai kritikan. Pembatasan tindak pidana yang bisa diselesaikan dengan diversi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a UUSPPA tersebut dipandang bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan standard minimum rule PBB (Res. No. 33 Tahun 1985) mengenai administrasi peradilan anak yang mengutamakan kesejahteraan, kelangsungan hidup, dan tumbuh kembang anak tanpa diskriminasi.
Apabila anak sampai melakukan tindak pidana bisa jadi karena diakibatkan oleh kelalaian orangtua, masyarakat dan Negara yang memiliki tanggungjawab terhadap kesejahteraan anak. Anak-anak tersebut tidak bisa dikatakan jahat bila melakukan tindak pidana karena berhadapan dengan kondisi tertentu. Misalnya anak melakukan pencurian dengan pemberatan karena lapar, anak terpaksa membunuh ayah tirinya karena tidak tahan dengan kekerasan yang sering dilakukan oleh ayah tirinya terhadap ibunya dan dirinya, anak menjadi kurir dalam peredaran narkoba karena ketidaktahuannya dan tidak adanya pembinaan dari orangtua maupun pemerintah. Terhadap kasus-kasus semacam itu yang lebih diperlukan adalah konseling bukannya proses peradilan pidana. Dengan kata lain upaya diversi tetap relevan diberlakukan terhadap kasus-kasus tersebut sekalipun ancaman hukumannya lebih dari 7 tahun.
Pertimbangan untuk menggunakan atau tidak menggunakan upaya diversi seharusnya bukan ditentukan secara kuantitatif berdasarkan berat-ringannya ancaman hukuman, namun seyogyanya diserahkan pada pihak-pihak yang memiliki kewenangan dan kapasitas dalam penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum. Pertimbangan tersebut tentu saja harus didasarkan pada hasil kajian terhadap semua aspek yang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak, secara utuh {holistic). Hasil kajian dan penetapan bisa atau tidaknya dilakukan upaya diversi harus bisa dipertanggungjawabkan balk secara rasional maupun moral.
  1. Penahanan dan Penjara
Beberapa pemerhati perlindungan anak dalam proses peradilan juga mempertanyakan masih munculnya upaya paksa berupa penahanan terhadap anak dan sanksi pidana penjara dalam UUSPPA. Disamping bertentangan dengan prinsip bahwa anak harus dihindarkan dari perampasan kemerdekaan, secara psikologis, proses penahanan dan penjara akan membuat anak tertekan dan membawa dampak buruk bagi perkembangan kejiwaan anak. Apalagi bila kondisi riel saat ini terkait dengan keterbatasan kapasitas SDM penegak hukum dan fasilitas Rutan/Lapas Anak
  1. Proporsi materi anak saksi dan korban
Sekalipun UUSPPA terdapat aturan mengenai anak sebagai korban dan atau saksi dari tindak pidana (bahkan diatur dalam bab tersendiri), namun muatan materinya sangat terbatas (hanya 3 pasatyakni Pasal 89-91). Rumusan bahwa anak korban atau anak saksi berhak mendapatkan perlindungan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dinilai amat sumir dan umum. Padahal anak yang menjadi korban atau saksi dari sebuah tindak pidana memerlukan perlindungan yang bersifat khusus. Dalam UUSPPA tidak terdapat aturan yang menjelaskan secara detail bagaimana posisi anak sebagai saksi dan/atau korban dalam sebuah tindak pidana, karena mereka juga rentan dalam menerima kekerasan sepanjang proses peradilan pidana tersebut
  1. Eksistensi Polisi, Jaksa dan Hakim Anak
Sekalipun dalam UUSPPA terdapat ketentuan bahwa penyidikan, penuntutan dan persidangan perkara anak dilakukan oleh penyidik, penuntut umum dan hakim khusus anak, namun aturan mengenai persyaratan, kualifikasi dan posisi para penegak hukum tersebut dalam sistem peradilan tidak terlalu detail dan jelas. Padahal anak memerlukan penanganan khusus yang dilakukan secara professional oleh mereka yang memiliki keahlian khusus. Bila dianalogikan dengan dunia kesehatan terdapat ruang perawatan khusus anak-anak dan dokter khusus anak yang berkualifikasi spesialis. Ketentuan dalam UUSPPA mengesankan bahwa polisi anak, Jaksa anak dan hakim anak hanya merupakan "pekerjaan sampingan", karena mereka juga diberikan beban untuk mengerjakan tugas-tugas penanganan perkara umum. Bahkan UUSPPA terdapat ketentuan yang bersifat ambigu seperti contohnya Pasal 26 ayat (4) yang mengatur bahwa selama belum terdapat penyidik khusus anak, maka penyidikan terhadap anak bisa dilakukan oleh penyidik umum. Ketentuan ini bertetangan hak anak untuk memperoleh perlakuan khusus.
  1. Bantuan Hukum
Bantuan hukum merupakan hak yang bersifat mendasar bagi setiap orang terutama bagi mereka yang terlibat dalam proses hukum. Pada Pasal 3 huruf c UUSPPA diatur bahwa salah satu hak anak adalah memperoleh bantuan hukun dan memperoleh bantuan lain secara efektif. Sayang UUSPPA tidak terdapat bab atau bagian khusus yang mengatur bagaimana batuan hukum tersebut harus diwujudkan dan dijalankan bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Hal ini berarti bantuan hukum terhadap anak menggunakan standar aturan bantuar. hukum secara umum.
  1. Kriminalisasi Penegak Hukum
Aturan-paling kontroversial dalam UUSPPA adalah pasal-pasal mengenai ketentuan pidana yang mencancam penyidik, penuntut umum dan hakim dengan sanksi pidana jika melanggar pasal-pasal tertentu dalam UUSPPA yang substansinya adalah hukum acara. Aturan yang mengkriminalisasi para penegak hukum tersebut banyak dipersoalkan karena:
a.   Kriminalisasi hakim bertentangan dengan konstitusi (Pasal 24 UUD NRI 1945) dan prinsip-prinsip internasional mengenai kemandirian hakim dalam konsep Negara hukum;
b.      Kriminalisasi terhadap pelanggaran ketentuan hukum acara dalam sistem peradilan
bertentangan dengan kaidah hukum. Lazimnya pelanggaran hukum acara hanya berakibat
proses hukum yang berjalan batal demi hukum, terhadap tersangka/ terdakwa berhak atau rehabilitasi dan ganti kerugian, serta pejabat penegak hukum yang melakukan pemeriksaan diperiksa berdasarkan prosesdur kode etik atau administratif;
c.       Aturan kriminalisasi untuk memaksa penegak hukum agar melaksanakan aturan pasal
hukum acara atau prosedur tertentu, amat bersifat positivistik sempit dan bersifat kontra
-produktif terutama bagi penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum yang memerlukan pendekatan progresif.
Masalah yang tidak kalah seriusnya dibalik ketentuan UUSPPA dengan segala kelebihan dan kekurangannya adalah bahaya proforma yakni bila penegak hukum anak yang memiliki kewenangan formal hanya mengedepankan aspek formalitas atau sekedar memenuhi persyaratan formal UUSPPA. Bila ini terjadi maka hanya menjadikan UUSPPA bersifat kontra produktif dalam penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum yang berperspektif perlindungan anak.

Disadur dari Materi : Dr. Al. Wisnubroto, SH. M.Hum dalam Seminar Nasional “ “Menyongsong Berlakunya UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak” di Universitas Atmajaya Yogyakarta tanggal 26 Maret 2013.

Atmajaya-Catur, Vina, Lia-Yogyakarta

No comments: