Sekalipun harus diakui bahwa terkait dengan pemenuhan hak-anak yang berhadapan dengan hukum UUSPPA terdapat
banyak kemajuan, namun tidak sedikit pula yang mengkritik ketentuan yang
terdapat dalam UUSPPA. Kritik-kritik tersebut sebenarnya
bermunculan sejak RUU SPPA masih dalam taraf pembahasan.
- Nama dan Ruang Lingkup UUSPPA
UU.
No. 11 Tahun 2012 disebut sebagai "Undang-Undang tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak". Sekalipun UUSPPA
ini banyak memuat materi mengenai "hukum acara pidana anak", namun
pecantuman kata "pidana" dalam
UUSPPA dipersoalkan oleh banyak
kalangan pelaku dan pemerhati anak. KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia)
misalnya menghendaki pencantuman kata "pidana" dihilangkan karena yang dibutuhkan oleh
anak yang berkonflik dengan hukum sebenarnya adalah
konseling, bukan peradilan pidana.
KPAI menginginkan nama undang-undang ini adalah “Undang-undang
tentang Sistem Peradilan Anak yang Berhadapan dengan Hukum”. Pecantuman kata “pidana”
di belakang frasa “Sistem Peradilan Anak” juga bertentangan dengan spirit penanggulangan anak
yang berhadapan dengan
hukum yakni menghidarkan anak dari proses peradilan pidana,
sehingga dikhawatirkan akan mempengaruhi persepsi penegak hukum
untuk bertindak represif kepada anak yang berkonflik dergan hukum.
Pencantuman
kata "Sistem” untuk nama sebuah undang-undang sudah pasti
terdapat sebuah sistem, bukan sekedar kumpulan norma atau aturan belaka.
Pencantuman
kata "pidana" juga menyebabkan ruang lingkup undang-undang peradilan
anak menjadi sempit yakni hanya berkaitan dengan peradilan pidana. Padahal anak-anak yang bermasalah dengan hukum
yang memerlukan perlindungan tidak hanya dalam perkara pidana. Anak-anak
yang terlibat dalam perkara perdata, misalnya sebagai saksi dalam kasus
perceraian, seharusnya juga juga diakomodasi dalam
undang-undang sistem peradilan anak.
- Usia Anak
Beberapa
kalangan pemerhati anak menilai batas usia minimum bagi anak yang
bisa dikenakan pertanggungjawaban pidana yakni 12 tahun, masih terlalu dini. Menurut mereka usia 12-13
tahun secara psikologis belum siap menghadapi proses peradilan pidana yang bagi orang dewasa-pun
kadang-kadang terasa panjang, membingungkan dan melelahkan. Sejak masih berupa RUU, KPAI menghendaki usia anak
yang bisa diproses dalam peradilan pidana adalah 15-18 tahun.
- Pembatasan Diversi
Sekalipun salah satu kemajuan dalam
UUSPPA yang menuai banyak pujian adalah
terdapatnya aturan mengenai diversi yang dijalankan dengan pendekatan keadilan
restoratif, namun aturan mengenai
diversi yang membatasi hanya
untuk tindak pidana yang dilakukan anak yang diancam dengan
sanksi pidana di bawah 7 tahun,
sekaligus juga menuai kritikan.
Pembatasan tindak
pidana yang bisa
diselesaikan dengan diversi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7
ayat (2) huruf a UUSPPA
tersebut dipandang bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan standard
minimum rule PBB (Res. No. 33 Tahun 1985) mengenai administrasi peradilan anak yang mengutamakan
kesejahteraan, kelangsungan hidup, dan tumbuh kembang anak tanpa diskriminasi.
Apabila
anak sampai melakukan tindak pidana bisa
jadi karena diakibatkan oleh kelalaian orangtua,
masyarakat dan Negara yang memiliki tanggungjawab terhadap kesejahteraan anak.
Anak-anak tersebut tidak bisa dikatakan
jahat bila melakukan tindak pidana karena berhadapan dengan kondisi
tertentu. Misalnya anak melakukan pencurian dengan pemberatan
karena lapar, anak terpaksa membunuh ayah tirinya karena tidak tahan dengan
kekerasan yang sering dilakukan oleh
ayah tirinya terhadap ibunya dan dirinya,
anak menjadi kurir dalam peredaran narkoba karena ketidaktahuannya dan tidak adanya pembinaan dari orangtua maupun
pemerintah. Terhadap kasus-kasus semacam itu yang lebih diperlukan adalah
konseling bukannya proses peradilan pidana. Dengan kata lain upaya diversi
tetap relevan diberlakukan terhadap
kasus-kasus tersebut sekalipun
ancaman hukumannya lebih dari 7 tahun.
Pertimbangan
untuk menggunakan atau tidak
menggunakan upaya diversi seharusnya bukan ditentukan secara kuantitatif berdasarkan berat-ringannya
ancaman hukuman, namun seyogyanya diserahkan pada pihak-pihak yang memiliki
kewenangan dan kapasitas dalam penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan
hukum. Pertimbangan tersebut tentu saja harus didasarkan pada hasil kajian terhadap semua aspek yang berkaitan
dengan tindak pidana yang dilakukan
oleh anak, secara utuh {holistic). Hasil
kajian dan penetapan bisa atau
tidaknya dilakukan upaya diversi
harus bisa dipertanggungjawabkan balk
secara rasional maupun moral.
- Penahanan dan Penjara
Beberapa
pemerhati perlindungan anak
dalam proses peradilan juga mempertanyakan masih munculnya upaya paksa berupa
penahanan terhadap anak dan sanksi pidana penjara dalam UUSPPA. Disamping
bertentangan dengan prinsip bahwa anak
harus dihindarkan dari perampasan
kemerdekaan, secara psikologis,
proses penahanan dan penjara akan membuat anak tertekan dan membawa dampak
buruk bagi perkembangan kejiwaan anak. Apalagi bila kondisi riel saat ini terkait dengan keterbatasan kapasitas SDM penegak hukum dan fasilitas Rutan/Lapas Anak
- Proporsi materi anak saksi dan korban
Sekalipun
UUSPPA terdapat aturan mengenai anak
sebagai korban dan atau saksi dari tindak pidana
(bahkan diatur dalam bab tersendiri),
namun muatan materinya sangat terbatas (hanya 3 pasatyakni Pasal 89-91).
Rumusan bahwa anak korban atau anak
saksi berhak mendapatkan perlindungan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dinilai amat sumir dan umum. Padahal anak yang menjadi korban atau saksi dari
sebuah tindak pidana memerlukan perlindungan yang bersifat khusus. Dalam UUSPPA tidak terdapat aturan
yang menjelaskan secara detail
bagaimana posisi anak sebagai saksi dan/atau korban dalam sebuah tindak pidana, karena mereka juga rentan dalam menerima kekerasan sepanjang proses
peradilan pidana tersebut
- Eksistensi Polisi, Jaksa dan Hakim Anak
Sekalipun
dalam UUSPPA terdapat ketentuan bahwa penyidikan, penuntutan dan persidangan
perkara anak dilakukan oleh penyidik,
penuntut umum dan hakim khusus anak,
namun aturan mengenai persyaratan, kualifikasi
dan posisi para penegak hukum
tersebut dalam sistem peradilan tidak terlalu
detail dan jelas. Padahal anak memerlukan penanganan khusus yang dilakukan secara professional oleh mereka
yang memiliki keahlian khusus. Bila dianalogikan
dengan dunia kesehatan terdapat ruang perawatan khusus anak-anak dan
dokter khusus anak yang berkualifikasi spesialis.
Ketentuan dalam UUSPPA mengesankan
bahwa polisi anak, Jaksa anak dan hakim anak hanya merupakan "pekerjaan
sampingan", karena mereka juga diberikan beban untuk mengerjakan
tugas-tugas penanganan perkara umum.
Bahkan UUSPPA terdapat ketentuan yang bersifat ambigu seperti contohnya Pasal
26 ayat (4) yang mengatur bahwa selama belum terdapat penyidik khusus anak, maka penyidikan
terhadap anak bisa dilakukan oleh
penyidik umum. Ketentuan ini bertetangan hak anak
untuk memperoleh perlakuan khusus.
- Bantuan Hukum
Bantuan
hukum merupakan hak yang bersifat mendasar bagi setiap orang terutama bagi mereka yang terlibat dalam proses
hukum. Pada Pasal 3 huruf c UUSPPA diatur
bahwa salah satu hak anak adalah
memperoleh bantuan hukun dan memperoleh bantuan lain secara efektif. Sayang
UUSPPA tidak terdapat bab atau bagian
khusus yang mengatur bagaimana batuan hukum tersebut harus diwujudkan dan dijalankan bagi anak yang berhadapan dengan
hukum. Hal ini berarti
bantuan hukum terhadap anak
menggunakan standar aturan bantuar. hukum secara umum.
- Kriminalisasi Penegak Hukum
Aturan-paling
kontroversial dalam UUSPPA adalah pasal-pasal mengenai ketentuan
pidana yang mencancam penyidik, penuntut umum dan
hakim dengan sanksi pidana jika melanggar pasal-pasal tertentu dalam UUSPPA yang substansinya adalah hukum
acara. Aturan yang mengkriminalisasi para penegak hukum tersebut banyak dipersoalkan karena:
a. Kriminalisasi hakim bertentangan dengan konstitusi (Pasal 24 UUD NRI 1945) dan prinsip-prinsip internasional
mengenai kemandirian hakim dalam konsep Negara hukum;
b. Kriminalisasi terhadap pelanggaran ketentuan hukum acara dalam sistem peradilan
bertentangan dengan kaidah hukum. Lazimnya pelanggaran hukum acara hanya berakibat proses hukum yang berjalan batal demi hukum, terhadap tersangka/ terdakwa berhak atau rehabilitasi dan ganti kerugian, serta pejabat penegak hukum yang melakukan pemeriksaan diperiksa berdasarkan prosesdur kode etik atau administratif;
bertentangan dengan kaidah hukum. Lazimnya pelanggaran hukum acara hanya berakibat proses hukum yang berjalan batal demi hukum, terhadap tersangka/ terdakwa berhak atau rehabilitasi dan ganti kerugian, serta pejabat penegak hukum yang melakukan pemeriksaan diperiksa berdasarkan prosesdur kode etik atau administratif;
c. Aturan kriminalisasi
untuk memaksa penegak hukum agar melaksanakan aturan pasal
hukum acara atau prosedur tertentu, amat bersifat positivistik sempit dan bersifat kontra-produktif terutama bagi penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum yang memerlukan pendekatan progresif.
hukum acara atau prosedur tertentu, amat bersifat positivistik sempit dan bersifat kontra-produktif terutama bagi penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum yang memerlukan pendekatan progresif.
Masalah yang tidak kalah
seriusnya dibalik ketentuan UUSPPA
dengan segala kelebihan dan
kekurangannya adalah bahaya proforma
yakni bila penegak hukum anak yang memiliki kewenangan formal hanya
mengedepankan aspek formalitas atau sekedar memenuhi persyaratan formal UUSPPA.
Bila ini terjadi maka hanya menjadikan UUSPPA bersifat kontra produktif dalam
penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum yang berperspektif
perlindungan anak.
Disadur dari Materi : Dr. Al. Wisnubroto, SH. M.Hum dalam Seminar Nasional “
“Menyongsong Berlakunya UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak” di Universitas Atmajaya Yogyakarta tanggal 26 Maret 2013.
Atmajaya-Catur, Vina,
Lia-Yogyakarta
No comments:
Post a Comment